Bekasi, FAKTIVA.TV — Nama Nurhadi (29), warga penyandang disabilitas dari Kampung Tenggilis, Lambangsari, Tambun Selatan, mendadak mencuri perhatian publik. Kisah hidupnya viral setelah seorang pengemudi ojek online mengunggah kondisi kamarnya di platform X. Namun, di balik derasnya simpati warganet, Nurhadi menegaskan bahwa narasi yang beredar tidak sesuai kenyataan.
Dalam unggahan yang dibuat akun X @ubiojol, terlihat Nurhadi terbaring di kamar dengan tumpukan plastik bekas makanan. Narasinya menyebut ia hidup sendirian tanpa pendamping. Video itu memicu diskusi hangat—mulai dari mempertanyakan perhatian keluarga hingga bantuan pemerintah.
Namun menurut Nurhadi, apa yang tersebar itu sangat berbeda dari fakta.
“Katanya saya cacat dari lahir, itu salah. Saya dulu normal, baru seperti ini setelah dua kali kecelakaan,” jelasnya. Ia juga membantah isu bahwa ia hidup benar-benar sendirian. Keluarganya tinggal persis di rumah sebelah dan rutin mendampinginya.
“Tinggalnya beda ruangan saja, bukan sendiri. Orangtua ada di samping rumah,” ujarnya.
Keberatan dan Permintaan Hapus Unggahan
Nurhadi mengaku keberatan karena videonya diambil tanpa izin. Ia menceritakan bahwa pengemudi ojol tersebut awalnya hanya berpura-pura ingin membantu.
“Bilangnya buat nambah bayar listrik, eh ternyata diposting. Saya enggak izin sama sekali,” ungkapnya.
Ia berharap unggahan itu segera dihapus karena telah menimbulkan kesalahpahaman publik. Meski kondisinya terbatas, Nurhadi menegaskan ia masih mendapatkan perhatian penuh dari keluarga. Ayahnya, seorang kuli bangunan, rutin datang untuk membersihkan dan mengganti pakaiannya. Sementara ibunya, Samsiyah (45), memastikan kamar Nurhadi tetap terawat.
“Ada yang nyapu, ngepel, ganti baju. Enggak seperti yang dikira orang,” kata Samsiyah.
Harapan Baru: Bangkit Lewat Rental PlayStation
Di tengah situasi ini, Nurhadi memiliki keinginan sederhana: membangkitkan lagi usaha rental PlayStation miliknya yang sempat ramai di masa lalu.
“Dulu ramai, cuma PS-nya hilang dan ada yang dijual. Tinggal satu tapi rusak. Pengen buka lagi biar enggak sepi sendiri,” tuturnya.
Harapan kecil itu menjadi cara Nurhadi untuk tetap produktif dan merasa ditemani.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa empati harus berjalan beriringan dengan etika, termasuk memastikan bahwa bantuan dan publikasi tidak menyinggung martabat orang yang dibantu.
