Jakarta, FAKTIVA.TV — Janji untuk menegakkan pemerintahan bersih bukanlah sekadar slogan politik. Ia merupakan komitmen moral yang seharusnya menjadi pedoman negara dalam memerangi korupsi—musuh terbesar bangsa. Namun, publik tersentak ketika pemerintah justru mengambil langkah yang berlawanan dengan semangat tersebut.
Setelah sebelumnya memberikan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, Presiden Prabowo kini kembali mengundang kontroversi. Kali ini, ia memberi rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry, Ira Puspadewi, yang terseret kasus korupsi dalam proses kerja sama dan akuisisi PT Jembatan Nusantara pada periode 2019–2022. Tak hanya Ira, dua mantan direksi ASDP lainnya—Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono—ikut memperoleh rehabilitasi.
Langkah-langkah ini menimbulkan perdebatan luas: Apakah negara benar-benar sedang menegakkan janji pemberantasan korupsi? Ataukah Indonesia sedang memasuki fase baru yang justru berpotensi menurunkan standar integritas hukum?
Dalam teori akuntabilitas politik, janji presiden dipandang sebagai kontrak moral antara pemimpin dan rakyat. Ketika tindakan pemerintah tidak sejalan dengan kata-kata yang pernah diucapkan, kepercayaan publik pun terkikis. Dan di negara demokratis, kepercayaan itu merupakan modal sosial terpenting.
Isu korupsi memiliki dampak yang sangat sensitif, baik secara simbolik maupun struktural. Karena korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa, negara selama ini berusaha mempersempit ruang kompromi dalam penanganannya. Maka ketika terjadi pemberian amnesti, abolisi, atau rehabilitasi terhadap individu yang pernah tersangkut kasus korupsi, publik melihatnya sebagai sebuah anomali—tindakan yang mungkin sah secara hukum, tetapi mengundang pertanyaan dari sisi etika serta politik.
Langkah seperti ini berpotensi menimbulkan sinyal keliru bagi birokrasi: bahwa korupsi masih mungkin dinegosiasikan. Efek jera melemah, batas moral hukum menjadi kabur, dan moral hazard meningkat.
Dalam perspektif systems integrity theory, suatu negara hanya dapat menjaga integritasnya jika hukum ditegakkan secara konsisten dan bebas dari kompromi politik. Ketika standar integritas mulai direlaksasi melalui kebijakan rehabilitasi, maka celah bagi turunnya kepercayaan publik terbuka lebar.

