Surakarta, FAKTIVA.TV – Keraton Surakarta kembali dilanda dinamika internal setelah wafatnya SISKS Pakubuwono XIII pada 2 November lalu. Dua putra mendiang raja kini sama-sama mengklaim sebagai penerus takhta, memunculkan ketegangan baru di lingkungan keraton.
Pihak pertama adalah KGPAA Hamangkunegoro Sudibyo Rajaputra Narendra Mataram, atau Gusti Purbaya, putra bungsu dari permaisuri ketiga, GKR Pakubuwana. Tiga hari setelah sang ayah mangkat, ia mendeklarasikan diri sebagai SISKS Pakubuwana XIV. Sejak tahun 2022, ia memang telah diangkat secara resmi sebagai putra mahkota oleh PB XIII saat usianya baru 21 tahun.
Di sisi lain, muncul klaim dari KGPH Hangabehi atau Mangkubumi, putra tertua PB XIII dari istri kedua, KRAy Winari Sri Haryani. Melalui rapat besar keluarga keraton di Sasana Handrawina pada Kamis (13/11), ia secara tiba-tiba dinobatkan sebagai Pangeran Pati, gelar yang identik dengan calon raja. Penetapan ini dihadiri beberapa tokoh penting keraton, termasuk Panembahan Agung Tedjowulan, Gusti Moeng, dan GPH Suryo Wicaksono.
Namun suasana rapat mendadak berubah panas. GKR Timoer Rumbay, kakak Mangkubumi sekaligus pendukung kubu Purbaya, masuk dan memprotes keras keputusan tersebut. Ia menilai penobatan Mangkubumi bertentangan dengan kesepakatan internal keluarga inti serta tidak memenuhi syarat adat karena sebagian besar putra-putri PB XIII tidak hadir. Timoer menegaskan bahwa hanya Mangkubumi yang hadir dari keturunan langsung raja, sementara banyak anggota keluarga besar juga absen atau keluar dari forum.
Timoer memastikan upacara Jumenengan Dalem Binayangkare Pakubuwana XIV untuk Gusti Purbaya tetap akan berlangsung pada Sabtu (15/11), sesuai rencana awal keluarga inti.
Di tengah silang klaim yang memanas, Panembahan Agung Tedjowulan mengungkapkan kekecewaannya. Ia mengaku tidak mengetahui bahwa rapat yang ia prakarsai akan berujung pada penobatan Mangkubumi. Menurutnya, rapat itu seharusnya hanya membahas imbauan agar seluruh pihak menahan diri selama masa berkabung 40 hari. Ia merasa “didorong” oleh peserta rapat untuk ikut menjadi saksi penobatan.
Tedjowulan menyebut dirinya seperti “di-fait accompli”—ditodong untuk merestui keputusan yang tidak pernah dibicarakan sebelumnya. Karena disungkemi dan dimintai restu di hadapan banyak orang, ia akhirnya memberikan pengesahan secara terpaksa.

