Jakarta, FAKTIVA.TV – Sidang praperadilan yang diajukan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, kembali menyita perhatian publik. Persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (7/10/2025), membuka perdebatan tajam mengenai cara aparat penegak hukum menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Dalam persidangan tersebut, ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda, tampil sebagai saksi ahli. Ia menyoroti langkah aparat hukum yang kerap terburu-buru menetapkan status tersangka sebelum memiliki bukti yang cukup.
“Penetapan tersangka itu bukan langkah awal, tapi hasil akhir dari proses penyidikan yang telah menemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti,” tegas Chairul.
Menurutnya, hukum acara pidana tidak hanya mengatur teknis penegakan hukum, melainkan juga menjadi tameng untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat.
“Peradilan ada untuk memastikan semua tindakan aparat berjalan dalam koridor undang-undang. Jika ada pembatasan terhadap hak seseorang, itu harus dilakukan secara proporsional,” jelasnya.
Penetapan Tanpa Bukti Dianggap Pelanggaran Prosedur
Chairul menegaskan bahwa praktik menetapkan tersangka tanpa bukti kuat adalah pelanggaran serius terhadap prinsip keadilan. Ia bahkan menyebut, bila bukti baru dicari setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka, maka yang terjadi bukan pencarian bukti, melainkan rekayasa bukti.
“Kalau ditetapkan dulu baru cari bukti, itu bukan proses hukum yang benar, tapi manipulasi,” ujarnya lantang.
Menyinggung Kasus Lama: Politisasi Hukum
Dalam keterangannya, Chairul juga menyinggung kasus lama yang pernah mengguncang publik — penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK.
Kasus tersebut, menurutnya, menjadi contoh konkret bagaimana keputusan hukum bisa terkontaminasi oleh kepentingan politik.
“Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kala itu menyatakan penetapan Budi Gunawan tidak sah. Itu menunjukkan bahwa tujuan penetapan tersangka harus diuji: apakah murni penegakan hukum atau justru politisasi hukum,” ujar Chairul.
Pemeriksaan Calon Tersangka Tidak Boleh Asal
Chairul turut menekankan pentingnya pemeriksaan calon tersangka sebelum status resmi ditetapkan. Ia menilai proses ini kerap dilakukan sekadar formalitas, tanpa pendalaman substansi.
“Pemeriksaan itu bukan sekadar tanda tangan di atas kertas. Harus ada klarifikasi dan konfirmasi terhadap keterangan saksi, supaya penyidikan benar-benar objektif,” katanya.
Audit BPK Jadi Penentu Legalitas Bukti
Persidangan juga menyinggung soal audit kerugian negara yang kerap dijadikan dasar dalam kasus korupsi. Menurut Chairul, audit resmi dari BPK merupakan elemen penting dalam menentukan sah atau tidaknya alat bukti tersebut.
“Kerugian negara belum tentu korupsi. Harus dibuktikan adanya hubungan langsung antara kerugian itu dan perbuatan melawan hukum,” tegasnya.
Ia menambahkan, audit dari BPKP memang bisa digunakan dalam penyidikan, tetapi belum memiliki kekuatan hukum penuh sebelum disahkan oleh BPK.
“Kalau hanya audit BPKP tanpa pengesahan BPK, itu baru alat bukti pendukung, belum sah secara hukum,” imbuhnya.
Sidang praperadilan Nadiem Makarim ini menjadi ujian penting bagi independensi aparat penegak hukum. Pernyataan Chairul Huda mengingatkan publik bahwa keadilan tidak cukup ditegakkan, tapi juga harus ditempuh melalui proses yang benar dan transparan.
