Semarang, FAKTIVA.TV – Putusan Pengadilan Tipikor Semarang terhadap mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu (Mbak Ita), bersama suaminya, Alwin, memunculkan perdebatan hangat di kalangan masyarakat. Bukan semata karena vonis penjara yang dijatuhkan, melainkan keputusan majelis hakim yang tidak mencabut hak politik keduanya.
Hakim menilai, meski keduanya terbukti menerima suap dan gratifikasi miliaran rupiah, tidak ada alasan kuat untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa larangan berpolitik. Faktor usia, latar belakang pendidikan, serta keyakinan hakim bahwa perbuatan itu tidak akan terulang kembali menjadi dasar pertimbangan.
Vonis tersebut menjadikan Mbak Ita harus menjalani 5 tahun penjara dengan denda Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan, sedangkan Alwin lebih berat yakni 7 tahun penjara dengan denda yang sama. Selain itu, keduanya diwajibkan membayar uang pengganti lebih dari Rp7 miliar yang berasal dari sejumlah proyek penunjukan langsung, pengadaan sarana pendidikan, hingga pungutan pajak daerah.
Perbedaan mencolok tampak antara putusan hakim dan tuntutan Jaksa KPK. Sebelumnya, jaksa menuntut pencabutan hak politik selama 2 tahun, denda Rp500 juta, serta hukuman penjara lebih tinggi. Putusan yang lebih ringan inilah yang kini menimbulkan polemik: apakah keadilan benar-benar ditegakkan, atau justru memberi ruang baru bagi mantan pejabat untuk tetap melenggang di dunia politik setelah bebas nanti.
Mbak Ita, yang pernah dikenal sebagai sosok pemimpin perempuan pertama di Kota Semarang, kini menghadapi masa kelam dalam karier politiknya. Namun, dengan tetap utuhnya hak politik, jalan untuk kembali berkompetisi di arena pemilu masih terbuka lebar. Hal inilah yang membuat publik menaruh perhatian, sekaligus menunggu bagaimana dinamika politik di Semarang dan Jawa Tengah berkembang ke depan.