FAKTIVA.TV – Harapan besar menjadikan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai simbol masa depan Indonesia kini dipenuhi keraguan. Setelah tiga tahun digarap dengan anggaran jumbo, tongkat estafet pembangunan akan dilepaskan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada 2026. Selanjutnya, beban itu sepenuhnya dipikul Otorita IKN (OIKN).
Namun masalah muncul: modal yang disediakan jauh dari cukup. Presiden Prabowo Subianto hanya mengalokasikan Rp6,3 triliun dalam APBN 2026—angka yang bahkan tak mencapai sepertiga dari dana yang digelontorkan tahun ini, dan jauh dari kebutuhan yang diajukan OIKN sebesar Rp21,18 triliun.
Padahal, tahun depan OIKN harus menangani sederet proyek strategis, mulai dari kompleks legislatif, kawasan yudikatif, infrastruktur air bersih, hingga akses jalan menuju pusat pemerintahan. Dengan dana yang terpangkas drastis, banyak pihak pesimistis pekerjaan itu bisa berjalan.
Ekonom senior Ronny Sasmita menilai alokasi Rp6,3 triliun tidak lebih dari dana operasional dasar. “Uang sebesar itu mungkin hanya cukup untuk gaji pegawai, listrik, dan perawatan infrastruktur yang ada. Untuk pembangunan baru? Hampir mustahil,” katanya.
Nada serupa datang dari Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira. Ia memperingatkan risiko IKN berubah menjadi kota mangkrak. Menurutnya, hilangnya prioritas fiskal dari pemerintah otomatis melemahkan minat investor. “Kalau APBN saja tidak serius, bagaimana investor mau percaya? Risikonya, IKN bisa jadi ghost town,” ujarnya.
Sejak dicanangkan di era Presiden Joko Widodo, IKN diproyeksikan rampung pada 2045 dengan kebutuhan Rp460 triliun. Hingga kini, sekitar Rp151 triliun sudah terserap. Namun tanpa komitmen kuat dari pemerintah baru, dana yang sudah terlanjur keluar berpotensi menjadi “sunk cost” alias modal hilang.