Bekasi, FAKTIVA.TV – Di tengah hiruk-pikuk menjelang Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, pemandangan tak biasa menghiasi jalanan: bendera bajak laut dari serial anime One Piece berkibar di belakang truk-truk logistik, termasuk di kawasan Kranji, Bekasi Barat. Di balik aksen budaya pop ini, ternyata tersimpan pesan sosial yang dalam.
Fenomena ini bukan sekadar tren atau bentuk kekaguman terhadap karakter fiksi. Para sopir truk yang memasang bendera bergambar Jolly Roger—ikon bajak laut dalam anime tersebut—menyampaikan keresahan terhadap kondisi ekonomi yang mereka anggap semakin menekan.
Aspirasi di Balik Simbol Fiksi
Rahmat (30) dan Dadang (28), dua sopir truk boks, menjadi bagian dari mereka yang turut memasang bendera tersebut. Menurut Rahmat, penghasilan hariannya sebagai sopir kini semakin sulit mencukupi kebutuhan hidup akibat kenaikan harga barang pokok. Sementara itu, tingkat pengangguran di sekitarnya juga semakin mengkhawatirkan.
“Ekonominya sekarang pasang-surut, malah cenderung surut,” keluh Rahmat. Di tempat kerjanya, dari enam truk yang beroperasi, lima di antaranya turut mengibarkan bendera bajak laut. “Ini simbol kegelisahan kami. Tapi tetap, kami tidak bermaksud merendahkan simbol negara. Kami cinta NKRI,” tegasnya.
Dadang menambahkan, pemasangan bendera itu bersifat sementara dan akan dicopot pada 17 Agustus 2025, tepat saat peringatan kemerdekaan. “Kami hanya ingin didengar dan diberi solusi, bukan cuma didengar saja,” ujarnya.
Tanggapan Ahli: Ekspresi Sah, Tapi Ada Batas
Peneliti kebijakan publik, Riko Noviantoro, menilai bahwa penyampaian aspirasi melalui simbol-simbol alternatif adalah bagian dari dinamika masyarakat demokratis. Namun, ia mengingatkan pentingnya memahami batasan hukum, khususnya terkait penggunaan simbol negara.
“Selama tidak melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, bentuk aspirasi ini sah-sah saja. Tapi jika melibatkan tindakan yang merendahkan atau melecehkan bendera Merah Putih, maka bisa dikenai sanksi,” jelas Riko, dikutip dari Warta Kota (31/7/2025).
Undang-undang tersebut mengatur bahwa jika bendera lain dikibarkan berdampingan, posisi dan ukuran bendera Merah Putih harus tetap lebih tinggi dan dominan. Pasal 24 dan 66 bahkan memuat sanksi tegas bagi pelanggaran—hingga 5 tahun penjara atau denda Rp500 juta.
Antara Protes Sosial dan Hormat pada Simbol Negara
Meski tidak ada larangan spesifik terhadap pengibaran bendera fiksi, masyarakat diimbau untuk tetap menjaga kesucian simbol negara dalam setiap bentuk ekspresi. Di sisi lain, pemerintah juga diingatkan untuk tidak hanya fokus pada bentuk protes yang muncul, tetapi mendengarkan substansi keluhan masyarakat.
Ketimpangan ekonomi, tingginya harga kebutuhan pokok, serta terbatasnya lapangan kerja menjadi pemicu keresahan yang muncul di jalanan. Suara dari balik kemudi truk seperti milik Rahmat dan Dadang bukanlah hal sepele—mereka mewakili jeritan akar rumput yang kerap luput dari perhatian.
“Selama ini kami jalan terus, tapi suara kami jarang nyampe ke atas. Mungkin ini cara kami biar dilihat dan didengar,” pungkas Rahmat.

