Semarang, FAKTIVA.TV — Ruang publik Indonesia kembali diwarnai dengan berbagai wacana terkait peran Wakil Presiden, khususnya menyangkut Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Mulai dari usulan agar beliau menangani langsung isu-isu di Papua, hingga usulan untuk berkantor tetap di Ibu Kota Nusantara (IKN). Meskipun usulan-usulan tersebut mungkin didasari niat baik—seperti mendekatkan pengaruh kekuasaan ke daerah, mempercepat pembangunan, hingga menunjukkan simbol komitmen pemerintahan—semua niat tersebut tetap harus diuji berdasarkan ketentuan konstitusi.
Dalam sistem negara hukum seperti Indonesia, segala bentuk penugasan dan pengaturan jabatan publik, terutama jabatan konstitusional seperti wakil presiden, tidak bisa semata-mata didasarkan pada kepentingan politis atau logika manajerial. Peran wakil presiden tidak bisa diatur layaknya deskripsi pekerjaan dalam perusahaan. Konstitusi bukanlah dokumen yang bisa dibengkokkan mengikuti dinamika politik sesaat.
Sebagai negara dengan sistem pemerintahan presidensial, Indonesia menetapkan bahwa seluruh kewenangan wakil presiden bersumber langsung dari presiden. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 UUD 1945, yang menyatakan pada ayat (1) bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar,” dan pada ayat (2), “Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.” Dengan demikian, posisi wakil presiden adalah sebagai pembantu presiden, bukan mitra setara dalam kekuasaan, apalagi pemegang kekuasaan administratif mandiri.
Wakil presiden bukanlah seorang “menteri super”, bukan pula “kepala proyek strategis nasional”, atau “koordinator wilayah”. Ia tidak memiliki kewenangan mandiri, kecuali dalam kondisi presiden berhalangan tetap atau sementara, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UUD 1945. Apabila presiden memberikan tugas khusus kepada wakil presiden—seperti mengoordinasikan percepatan pembangunan Papua atau mengawal proyek IKN—hal itu hanya sah bila dilakukan melalui penugasan resmi yang bersifat delegatif, bukan struktural. Penugasan tersebut tidak boleh melahirkan kewenangan baru yang mandiri, apalagi bertentangan dengan prinsip utama sistem presidensialisme.
Jika wakil presiden sampai memiliki kantor tetap di luar ibu kota, menjalankan program secara independen, atau memiliki struktur staf di luar sekretariat wakil presiden, maka hal itu bisa menimbulkan poros kekuasaan baru yang berpotensi menabrak sistem konstitusional.
Sistem presidensial didesain untuk hanya memiliki satu kepala pemerintahan, yaitu presiden. Bila wakil presiden diberikan wilayah kerja tetap atau posisi administratif yang berdiri sendiri, maka akan timbul risiko dualisme eksekutif. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip presidensialisme murni yang dianut oleh Indonesia, berbeda dengan sistem parlementer atau semi-presidensial seperti yang diterapkan di negara-negara lain, misalnya Prancis.
Dualisme eksekutif juga bisa menimbulkan kekacauan dalam tata kelola pemerintahan. Bila wakil presiden diberikan kewenangan untuk memimpin wilayah atau sektor tertentu, maka akan muncul pertanyaan mendasar: kepada siapa kementerian teknis bertanggung jawab—kepada presiden atau kepada wakil presiden?
Sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia, hubungan antara presiden dan wakil presiden selalu berjalan dinamis. Bung Hatta, misalnya, memilih mundur karena merasa tidak lagi memiliki ruang peran. Di era Orde Baru, posisi wakil presiden lebih banyak bersifat simbolis. Sementara pasca-Reformasi, relasi tersebut menjadi lebih aktif, tetapi tetap sepenuhnya bergantung pada kewenangan presiden.
Kini, muncul dorongan untuk memberikan peran lebih besar kepada wakil presiden, bahkan di luar ketentuan konstitusi. Padahal, jabatan wakil presiden adalah jabatan konstitusional yang fungsinya sudah ditetapkan secara jelas oleh UUD 1945. Mengubah struktur kekuasaan tanpa mekanisme formal berarti membuka jalan bagi kerusakan sistem dari dalam.
Wakil presiden memang dapat memainkan peran penting dan strategis. Namun, itu tetap harus dalam kerangka membantu presiden, bukan menjalankan kekuasaan secara otonom. Penugasan ke Papua ataupun berkantor di IKN dapat dilakukan, asalkan bersifat insidental, tidak permanen, dan tidak melahirkan struktur kekuasaan tandingan. Prinsipnya tetap satu: presiden memberi tugas, wakil presiden membantu.
Konstitusi Indonesia telah memberikan ruang fleksibilitas yang cukup untuk mendorong efektivitas pemerintahan, sekaligus batas yang tegas untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Maka dari itu, pengaturan peran wakil presiden harus dilakukan dengan landasan hukum yang kuat, bukan sekadar berdasarkan dinamika politik harian.