Jakarta, FAKTIVA – Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, akan menghadapi pembacaan vonis dalam perkara dugaan suap dan perintangan penyidikan terkait kasus buronan Harun Masiku. Sidang putusan digelar hari ini, Jumat (25/7/2025), pukul 13.30 WIB di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam sidang sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut hukuman 7 tahun penjara dan denda sebesar Rp600 juta, subsider 6 bulan kurungan, terhadap Hasto.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Hasto Kristiyanto dengan pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp600 juta, subsider pidana kurungan pengganti selama 6 bulan,” kata jaksa dalam sidang, Kamis (3/7/2025).
Jaksa menyatakan bahwa Hasto secara sah dan meyakinkan terlibat dalam upaya menyuap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan, guna memuluskan pergantian antarwaktu (PAW) Anggota DPR RI periode 2019–2024 untuk Harun Masiku.
Tak hanya itu, Hasto juga didakwa menghalangi penyidikan KPK, dengan cara memerintahkan orang-orang dekatnya untuk menghilangkan barang bukti, seperti merendam dan menenggelamkan ponsel yang diduga berisi informasi penting terkait kasus tersebut.
Pleidoi Hasto: Tuntutan Dianggap Tidak Adil
Dalam sidang pembelaan (pleidoi) pada Kamis (10/7/2025), Hasto membantah seluruh dakwaan. Ia menilai tuntutan 7 tahun penjara yang diajukan jaksa tidak adil dan menyebut proses hukum yang menjeratnya sarat dengan campur tangan kekuasaan.
“Majelis Hakim Yang Mulia, terhadap tuntutan 7 tahun penjara dan denda Rp600 juta sungguh terasa sangat tidak adil,” ujar Hasto di hadapan majelis hakim.
Ia juga menyebut bahwa “hukum saat ini telah menjadi bentuk penjajahan baru” karena intervensi kekuasaan di luar pengadilan. Hasto menyoroti bahwa tuduhan obstruction of justice terhadap dirinya bahkan dianggap lebih berat dibanding pokok perkara korupsi yang belum terbukti secara cukup.
“Bagaimana mungkin terhadap tindakan perintangan penyidikan yang tidak terbukti, beban pidananya justru melebihi perkara utama penyuapan,” lanjutnya.
Hasto memohon kepada majelis hakim agar membebaskannya dari seluruh dakwaan dan memulihkan nama baiknya.
Rangkaian Kasus: PAW Harun Masiku dan Perusakan Bukti
Hasto Kristiyanto didakwa melanggar Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, serta pasal-pasal terkait dalam KUHP.
Menurut dakwaan, Hasto diduga:
- Memerintahkan Nur Hasan, penjaga Rumah Aspirasi PDI-P, untuk merendam ponsel Harun Masiku ke dalam air setelah OTT terhadap Wahyu Setiawan.
- Memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan ponsel sebagai bentuk penghilangan alat bukti.
- Terlibat bersama advokat Donny Tri Istiqomah, mantan narapidana Saeful Bahri, dan Harun Masiku dalam memberikan suap sebesar 57.350 dolar Singapura (sekitar Rp600 juta) kepada Wahyu Setiawan.
Uang itu diduga digunakan untuk mendorong KPU menyetujui PAW Harun Masiku menggantikan Riezky Aprilia, caleg dari Dapil Sumatera Selatan I.
Konsekuensi Hukum dan Sorotan Publik
Kasus ini menjadi salah satu perkara besar yang mengaitkan pejabat tinggi partai politik dengan praktik suap dan obstruction of justice. Selain memunculkan pertanyaan soal integritas institusi pemilu, kasus ini juga kembali menyeret nama Harun Masiku, buronan yang hingga kini belum tertangkap sejak 2020.
Putusan majelis hakim hari ini akan menjadi penentu apakah Hasto Kristiyanto dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman seperti tuntutan jaksa, atau justru dibebaskan dari dakwaan sebagaimana yang dimohonkan dalam pleidoinya.