Jakarta, FAKTIVA — Pernyataan mengejutkan datang dari Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, dalam rapat kerja bersama Kementerian BUMN dan BPI Danantara pada Rabu (23/7). Politikus PDI Perjuangan itu mengungkapkan bahwa dirinya mendengar adanya wacana pemerintah untuk mengenakan pajak terhadap masyarakat yang menerima amplop kondangan atau hadiah dalam acara hajatan. Pernyataan ini sontak menuai perhatian dan menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat.
Menurut Mufti, isu tersebut mencuat sebagai imbas dari hilangnya penerimaan negara dari dividen BUMN yang kini dikelola penuh oleh Danantara, sebuah entitas pengelola dana kekayaan negara. Dampaknya, kata Mufti, kas negara tidak lagi menerima dividen langsung, sehingga memicu munculnya ide-ide ekstrem untuk menambal defisit anggaran.
“Pengalihan dividen Danantara dampaknya sangat jelas. Negara hari ini kehilangan pemasukan. Kementerian Keuangan harus memutar otak menutup defisit, hingga lahirlah kebijakan-kebijakan yang membuat rakyat keringat dingin,” ujar Mufti dalam rapat di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat.
Lebih lanjut, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap wacana pajak amplop kondangan tersebut.
“Kami dengar, dalam waktu dekat orang yang mendapat amplop di kondangan, di hajatan, juga akan dimintai pajak. Ini tragis. Rakyat sudah cukup menjerit,” tambahnya, mengutip laporan Jawa Pos.
Klarifikasi Ditjen Pajak: Tidak Ada Pajak Amplop Kondangan
Pernyataan Mufti langsung direspons oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam keterangan resminya pada Kamis (24/7), DJP dengan tegas membantah adanya rencana kebijakan semacam itu.
“Tidak ada kebijakan baru dari pemerintah atau DJP yang akan memungut pajak dari amplop kondangan, baik yang diterima langsung maupun melalui transfer,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Rosmauli.
Rosmauli menjelaskan bahwa pernyataan Mufti kemungkinan besar didasarkan pada pemahaman yang kurang tepat terhadap prinsip perpajakan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan. Ia mengakui bahwa memang ada ketentuan pajak terhadap hadiah, seperti dalam kasus sayembara atau undian, namun hal itu tidak dapat disamakan dengan pemberian sukarela seperti amplop kondangan.
“Jika pemberian tersebut bersifat pribadi, tidak rutin, dan tidak terkait dengan pekerjaan atau kegiatan usaha, maka tidak dikenakan pajak dan tidak menjadi prioritas pengawasan DJP,” tegas Rosmauli.
Ia menambahkan, sistem perpajakan Indonesia menganut sistem self-assessment, di mana wajib pajak melaporkan sendiri penghasilannya melalui Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Karena itu, DJP tidak memiliki wewenang untuk secara aktif menagih pajak dari penerima amplop hajatan.
“Tidak benar jika ada anggapan petugas pajak akan datang ke hajatan atau kondangan untuk menagih pajak. Hal itu sepenuhnya di luar konteks dan tidak berdasar,” ujarnya.
Latar Belakang: Defisit dan Hilangnya Dividen BUMN
Kementerian Keuangan pada 2025 memang harus merelakan potensi pendapatan dari dividen BUMN yang sebelumnya masuk dalam kategori Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dividen senilai hampir Rp 90 triliun kini tidak lagi masuk ke kas negara secara langsung karena telah dialihkan ke pengelolaan Danantara.
Langkah ini menimbulkan kekhawatiran di parlemen, termasuk di antaranya dari Mufti Anam yang menilai bahwa hilangnya pendapatan tersebut menjadi beban tambahan bagi fiskal nasional. Ia mengkritik kebijakan tersebut sebagai penyebab lahirnya gagasan-gagasan ekstrem terkait pengenaan pajak di sektor informal atau aktivitas sosial masyarakat.