Semarang, FAKTIVA.TV — Suasana belajar di SDN Rejosari 01 Semarang pada pagi hari itu terasa berbeda dari biasanya. Tawa kecil dan suara penasaran terdengar dari sudut kelas 5C ketika guru mereka, Nurhayati, membuka tas berisi sebuah buku unik. Bukan buku biasa—melainkan buku pop-up yang mampu menampilkan gambar tiga dimensi.
“Bu, boleh dibuka sekarang?” tanya Naila, salah satu siswi yang sudah tak sabar.
Begitu halaman pertama dibuka, matanya langsung membesar. Di depan para siswa, muncul tumpeng buah-buahan berdiri tegak, dikelilingi figur kera bertingkat seolah hidup dan bergerak. Latar ilustrasi berupa jembatan menuju Goa Kreo dan aliran sungai ikut terangkat saat halaman ditarik, menciptakan efek visual berlapis yang membuat anak-anak serasa masuk ke dalam ceritanya.
Buku pop-up berjudul Sesaji Rewanda, Hadiah untuk Kera Goa Kreo itu merupakan karya guru binaan Tanoto Foundation. Mengangkat tradisi memberi sesaji kepada kera-kera liar di Goa Kreo, warna cerah dan struktur pop-up yang presisi membuat proses belajar jauh lebih interaktif dan menyenangkan.
Kegelisahan Guru yang Melahirkan Inovasi
Di balik momen seru tersebut, tersimpan kegelisahan mendalam yang telah lama dirasakan Nurhayati dan banyak guru lainnya. Kepada Kompas.com, ia mengungkapkan bahwa masih sering dijumpai murid yang lancar membaca namun tidak memahami makna bacaan. Fenomena siswa viral yang tak bisa menjawab pertanyaan sederhana, menurutnya, hanyalah puncak gunung es.
“Sekarang anak-anak diarahkan untuk kreatif, bukan hanya menghafal. Tapi di situ sering muncul celah—ada kemampuan dasar yang ternyata belum kuat,” ujarnya.
Kondisi itulah yang mendorong para guru di Semarang berinovasi. Mereka mulai merancang media pembelajaran yang lebih menarik dan dekat dengan keseharian siswa, salah satunya melalui pengembangan buku pop-up bekerja sama dengan Tanoto Foundation
Bayang-bayang Krisis Literasi Nasional
Data terbaru Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menempatkan Indonesia di peringkat 69 dari 81 negara. Angka itu menjadi alarm bahwa kemampuan membaca dan berhitung dasar masih jauh dari ideal.
Hasil Asesmen Nasional Kemdikbud memperkuat gambaran tersebut:
- 2 dari 3 siswa Indonesia belum mencapai kompetensi numerasi minimum,
- 1 dari 3 siswa belum memahami bacaan secara utuh.
Situasi ini tampak nyata dalam berbagai video yang viral di media sosial, ketika siswa kesulitan menjawab pertanyaan sederhana seperti “Apa ibu kota Jawa Tengah?” atau “Apa kepanjangan BJ dalam BJ Habibie?”
Inovasi seperti buku pop-up yang digunakan guru Nurhayati menjadi salah satu upaya untuk memperkuat pondasi belajar—membantu anak tidak hanya membaca, tetapi memahami dan merasakan cerita yang mereka pelajari. Langkah kecil di sebuah kelas di Semarang ini menjadi harapan baru untuk mendorong literasi nasional bergerak ke arah yang lebih baik.

