Jakarta, FAKTIVA.TV – Senin siang di jantung Ibu Kota diperkirakan kembali riuh oleh suara toa dan orasi. Dari Depok, rombongan mahasiswa Universitas Indonesia bergerak menuju kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya, membawa semangat perlawanan yang mereka sebut sebagai “pengingat arah perubahan.”
Bukan tanpa alasan mereka turun ke jalan. Tepat setahun pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka, BEM UI menilai bahwa apa yang dulu dijanjikan dalam kampanye besar “perubahan untuk rakyat”, belum juga terlihat nyata.
“Yang kami rasakan justru sebaliknya: kebijakan makin terkonsentrasi di pusat, suara rakyat kian dibatasi,” ujar Bima Surya, Wakil Kepala Departemen Aksi dan Propaganda BEM UI, dalam keterangan menjelang aksi.
Kritik yang Tumbuh dari Kekecewaan
Menurut BEM UI, satu tahun pemerintahan ini telah memperlihatkan kecenderungan yang berbahaya: demokrasi melemah, ekonomi rakyat tertekan, dan kebijakan lebih berpihak pada pemilik modal.
Mereka menyoroti empat hal yang dianggap paling mendesak:
- Lonjakan harga kebutuhan pokok yang menurunkan daya beli masyarakat.
- Tingkat pengangguran yang tak kunjung turun.
- Mengecilnya ruang kebebasan sipil, di mana kritik sering berujung represi.
- Pengaruh oligarki yang makin kuat di balik kebijakan strategis negara.
Bagi para mahasiswa itu, “perubahan” bukan sekadar kata dalam pidato kenegaraan, tapi semestinya menjadi arah nyata yang dirasakan masyarakat bawah.
Asta Cita Milik Rakyat: Perlawanan Simbolik
Untuk menandai perlawanan intelektualnya, BEM UI merilis delapan tuntutan yang mereka namakan “Asta Cita Milik Rakyat” — versi tandingan dari program Asta Cita pemerintahan Prabowo–Gibran.
Isinya menuntut keterbukaan, keadilan sosial, pemerataan ekonomi, serta penghentian gaya kekuasaan yang dianggap militeristik.
“Pemerintah terlalu nyaman dengan kekuasaan. Demokrasi kita sedang terancam menjadi formalitas,” tambah Bima.
Suara dari Jalanan
Sekitar 1.480 mahasiswa dari UI dan berbagai kampus lain sudah terdaftar ikut aksi ini. Mereka berkumpul di Lapangan FISIP UI, Depok, lalu bergerak bersama menuju Jakarta dengan membawa spanduk, poster, dan simbol perlawanan.
Di tengah lalu lintas dan hiruk-pikuk kota, orasi mereka akan menggema di depan Istana Kepresidenan.
“Kami turun bukan untuk mencari sensasi, tapi untuk menagih janji,” kata Faal, koordinator aksi.
Jakarta, FAKTIVA.TV – Senin siang di jantung Ibu Kota diperkirakan kembali riuh oleh suara toa dan orasi. Dari Depok, rombongan mahasiswa Universitas Indonesia bergerak menuju kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya, membawa semangat perlawanan yang mereka sebut sebagai “pengingat arah perubahan.”
Bukan tanpa alasan mereka turun ke jalan. Tepat setahun pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka, BEM UI menilai bahwa apa yang dulu dijanjikan dalam kampanye besar “perubahan untuk rakyat”, belum juga terlihat nyata.
“Yang kami rasakan justru sebaliknya: kebijakan makin terkonsentrasi di pusat, suara rakyat kian dibatasi,” ujar Bima Surya, Wakil Kepala Departemen Aksi dan Propaganda BEM UI, dalam keterangan menjelang aksi.
Kritik yang Tumbuh dari Kekecewaan
Menurut BEM UI, satu tahun pemerintahan ini telah memperlihatkan kecenderungan yang berbahaya: demokrasi melemah, ekonomi rakyat tertekan, dan kebijakan lebih berpihak pada pemilik modal.
Mereka menyoroti empat hal yang dianggap paling mendesak:
- Lonjakan harga kebutuhan pokok yang menurunkan daya beli masyarakat.
- Tingkat pengangguran yang tak kunjung turun.
- Mengecilnya ruang kebebasan sipil, di mana kritik sering berujung represi.
- Pengaruh oligarki yang makin kuat di balik kebijakan strategis negara.
Bagi para mahasiswa itu, “perubahan” bukan sekadar kata dalam pidato kenegaraan, tapi semestinya menjadi arah nyata yang dirasakan masyarakat bawah.
Asta Cita Milik Rakyat: Perlawanan Simbolik
Untuk menandai perlawanan intelektualnya, BEM UI merilis delapan tuntutan yang mereka namakan “Asta Cita Milik Rakyat” — versi tandingan dari program Asta Cita pemerintahan Prabowo–Gibran.
Isinya menuntut keterbukaan, keadilan sosial, pemerataan ekonomi, serta penghentian gaya kekuasaan yang dianggap militeristik.
“Pemerintah terlalu nyaman dengan kekuasaan. Demokrasi kita sedang terancam menjadi formalitas,” tambah Bima.
Suara dari Jalanan
Sekitar 1.480 mahasiswa dari UI dan berbagai kampus lain sudah terdaftar ikut aksi ini. Mereka berkumpul di Lapangan FISIP UI, Depok, lalu bergerak bersama menuju Jakarta dengan membawa spanduk, poster, dan simbol perlawanan.
Di tengah lalu lintas dan hiruk-pikuk kota, orasi mereka akan menggema di depan Istana Kepresidenan.
“Kami turun bukan untuk mencari sensasi, tapi untuk menagih janji,” kata Faal, koordinator aksi.

