FAKTIVA.TV – Nepal kembali jadi sorotan dunia, bukan semata karena tragedi yang merenggut 19 nyawa dan melukai ratusan orang, tetapi karena wajah para demonstrannya: anak-anak muda generasi Z. Dengan seragam sekolah, buku catatan, dan bendera pop culture di tangan, mereka turun ke jalan menantang korupsi, nepotisme, hingga sensor digital.
Gerakan ini tidak tumbuh tiba-tiba. Akar perlawanan bisa ditelusuri sejak gempa besar 2015 yang mengguncang negeri di kaki Himalaya. Dari reruntuhan itu lahir komunitas solidaritas bernama Hami Nepal yang digagas aktivis sosial Sudan Gurung. Jaringan tersebut kemudian menjadi ruang politik bagi anak muda yang merasa kehilangan arah kepemimpinan.
Maka, ketika pemerintah menutup 26 platform media sosial pada September 2025, respons generasi muda jauh melampaui isu hiburan digital. Bagi mereka, itu adalah serangan terhadap identitas dan kebebasan berekspresi. Tidak heran bila bendera nasional dikibarkan berdampingan dengan simbol bajak laut One Piece—bahasa simbolik khas generasi yang tumbuh di dunia serba terkoneksi.
Namun, di balik semangat itu muncul pertanyaan klasik: apakah ini murni gerakan organik, atau bagian dari skenario geopolitik yang lebih besar? Sebab, pola serupa pernah terlihat di Sri Lanka dan Pakistan. Meski begitu, satu hal jelas: kemarahan mereka terhadap korupsi, pengangguran, dan politik dinasti adalah nyata.
Cermin untuk Indonesia
Indonesia memang berbeda. Demokrasi lebih mapan, skala negara lebih besar, dan stabilitas relatif lebih terjaga. Tetapi bukan berarti kebal. Fenomena “Nepo Kids” di Nepal—anak pejabat yang pamer kemewahan di tengah rakyat susah—nyatanya juga tidak asing bagi publik Indonesia. Mobil mewah, pesta glamor di luar negeri, hingga jabatan yang diwariskan kerap jadi bahan perbincangan dan sumber kemarahan generasi muda.