FAKTIVA.TV – Beijing pada Selasa (3/9) menjadi pusat perhatian dunia ketika tiga pemimpin yang kerap menantang dominasi Barat bertemu dalam satu panggung: Presiden China Xi Jinping, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.
Xi menyambut Putin dengan jamuan resmi di Balai Agung Rakyat, lalu mengundangnya ke kediaman pribadi – sebuah isyarat kedekatan yang jarang diperlihatkan kepada pemimpin asing. “Sahabat lama,” begitu Xi menyapa Putin, menegaskan ikatan strategis yang terus menguat di tengah isolasi Rusia dari Barat.
Tak lama kemudian, perhatian publik bergeser ke kedatangan kereta lapis baja Kim Jong Un di Beijing sekitar pukul 04.00 waktu setempat. Media Korea Utara mengonfirmasi lawatan itu, sementara intelijen Korea Selatan menyebut Kim ditemani putrinya, Kim Ju Ae – sinyal dinasti politik yang mulai dipersiapkan sejak dini.
Bukan Sekadar Parade Militer
Secara resmi, ketiga pemimpin hadir untuk menghadiri parade militer dan peringatan 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II. Namun, pengamat menilai momentum ini sarat makna politik: poros Beijing-Moskow-Pyongyang sedang dibentuk di depan mata dunia.
Setelah Rusia dan Korea Utara menandatangani pakta pertahanan pada 2024, kemunculan Xi bersama keduanya memperkuat spekulasi bahwa China juga akan masuk dalam lingkaran aliansi militer baru. Jika itu terjadi, peta kekuatan di Asia Pasifik bisa berubah drastic – menjadi tantangan langsung bagi Amerika Serikat dan sekutunya.
Pesan Xi: Anti-Hegemoni
Dalam pidato yang disampaikan sehari sebelumnya, Xi menegaskan kembali sikap kerasnya terhadap dominasi Barat.
“Kita harus mengambil sikap tegas terhadap hegemonisme dan politik kekuasaan,” ujarnya.
Pesan itu bukan sekadar retorika, melainkan deklarasi sikap kolektif dari tiga negara yang selama ini kerap berada di bawah sanksi dan tekanan internasional.
Isyarat Aliansi Baru
Pertemuan Xi, Putin, dan Kim di Beijing tidak hanya menjadi ajang diplomasi seremonial, tetapi juga panggung geopolitik yang menunjukkan kesiapan tiga kekuatan Asia untuk menghadapi tekanan eksternal. Jika aliansi ini terwujud, bukan mustahil dominasi militer Amerika Serikat di kawasan akan terancam.
