Jakarta, FAKTIVA.TV – Saat sebagian besar warga masih terlelap, denyut nadi ekonomi sudah mulai bergetar di rel KRL Commuter Line. Sejumlah pedagang kaki lima (PKL) dari berbagai daerah penyangga Jakarta memulai perjalanannya bahkan sebelum fajar menyingsing, membawa buntalan kain besar atau tas penuh dagangan menuju ibu kota.
Bagi mereka, kereta pertama bukan sekadar moda transportasi. Ia adalah “jalur hidup” yang setiap hari mengantarkan rezeki. Tarif terjangkau, waktu tempuh singkat, serta suasana akrab di antara sesama pedagang menjadi alasan mereka setia menembus dinginnya udara subuh demi tiba tepat waktu di lokasi berjualan.
Pintu Rezeki di Atas Rel
Sapriah (53), pedagang tape uli dan lepet asal Sudimara, Tangerang Selatan, sudah 16 tahun setia pada KRL pertama yang berangkat dari Stasiun Sudimara. Bersama sang suami, ia meninggalkan rumah pukul 03.00 WIB dengan membawa baskom berisi 80 tape uli dan 100 lepet yang dibungkus rapi.
Tujuannya adalah Pasar Angke, Jakarta Barat. Di sana, ia bertemu dengan rekan-rekan pedagang lain yang juga memanfaatkan kereta pertama. “Namanya kan di situ banyak teman, soalnya kita para penjual-penjual banyak di kereta pertama,” ujar Sapriah.
Baginya, kereta pertama memberi ruang untuk membawa dagangan tanpa terlalu mengganggu penumpang lain. Suasana guyub di antara sesama pedagang membuat perjalanan panjang menuju pasar terasa lebih ringan.
Suka Duka di Jalur Rel
Sapriah masih mengingat betul masa sulit awal pandemi Covid-19, saat pedagang dilarang naik KRL selama sebulan penuh. Tanpa pemasukan, ia terpaksa berutang demi memenuhi kebutuhan anak dan cucunya. “Sebulan itu keberatan banget. Saya sampai ngutang karena enggak ada pemasukan. Kalau naik mobil pasti mahal banget,” kenangnya.
Selain masa pandemi, teguran dari penumpang KRL—khususnya pekerja kantoran—kadang juga menjadi tantangan. Namun, ada pula petugas yang membela para pedagang. “Kadang ada orang kantor enggak mau ketemu sama pedagang. Tapi ada juga petugas yang bela kami, bilang ‘sama-sama cari makan’,” tutur Sapriah.
Perjuangan Menuju Glodok
Di gerbong yang sama, Neneng (50) memulai hari lebih awal lagi. Berangkat pukul 02.30 WIB dari rumahnya di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, ia menumpang kereta pertama menuju Stasiun Angke, sebelum melanjutkan perjalanan ke Glodok, Jakarta Barat, untuk berjualan nasi rames.
“Kalau mau dapat tempat duduk dan cepat sampai, harus naik kereta pertama,” ungkapnya.
Harapan di Tengah Perjalanan
Setiap Senin, para pedagang biasanya libur karena gerbong pertama dipenuhi penumpang kantoran yang pulang kampung pada akhir pekan. Meski begitu, baik Sapriah maupun Neneng sama-sama berharap PT Kereta Api Indonesia (KAI) tidak melarang pedagang kecil naik kereta pertama.
Bagi mereka, KRL terpagi adalah moda transportasi yang paling murah, aman, dan efisien untuk mengangkut barang dagangan. Di atas rel inilah, rezeki mereka bergulir setiap hari, menyambung hidup keluarga, dan menghidupi denyut ekonomi pasar-pasar tradisional Jakarta.